Kisah Getir si Penambang Batu Kapur Bukit Tui
Kisah Getir si
Penambang Kapur di Bukit Tui
dalam Naskah Simalakama Karya Edward Zebua
Penulis: Dila Ayu Arioksa
on : 26 April 2018
Semua
orang ingin hidup kaya tanpa beban, namun tidak semudah mengembalikan telapak
tangan menjadi orang kaya. Banyak pengorbanan dan perjuangan demi sesuap nasi.
Begitupun hidup seorang penambang Kapur di Bukit Tui, Bukit Tui merupakan bukit
pengahasil kapur di daerah Sumatera Barat tepatnya di daerah Padangpanjang.
sebagai penambang pekerjaan ini sudah
digeluti secara turun temurun sampai sekarang tidak bisa luput dari pekerjaan itu.
Tua sebelum waktunya, badan yang makin hari makin kurus, sakit sudah menjadi
langganan, buta akan informasi hari ini,
dari pagi sampai sore waktu dihabiskan di lereng bukit, itulah rutinitas harian
si penambang Bukit Tui.
Menjadi
seorang dosen di Institut Seni Indonesia Padangpanjang, darah seniman mengalir ke darah bpk. Edward yang bukan
tamatan dari kampus seni. Berdomisili di Padangpanajang merasa gelisah dengan
kehidupan masyarakat tambang kapur di daerah Bukit Tui atau bukit kapur yang
berjajar di selatan Padangpanjang, letaknya berada antara Rao-Rao hingga Tanah
Hitam, banyak keluarga di sekitar Bukit Tui mengantungakan hidup menjadi
Penambang dengan secara tradisional. Sehingga membuat naskah realis berjudul
Simalakama yang sudah dipertunjukan tanggal 26 April 2018 di Gedung Pertunjukan
Hoerijah Adam di Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Pertunjukan yang berlangsung lebih kurang
sejam.
Naskah
yang bercerita tentang kehidupan keluarga di desa sebagai penambang kapur di
Bukit Tui, yang sudah menjadi pekerjaan turun temurun. Sekarang ayahpun
sakit-sakitan sesak napas dan kulit pun sudah gosong karena paparan matahari,
tubuh yang mulai renta susah untuk bekerja, sang istripun mulai risih melihat
kondisi sang suami, istripun berniat untuk mencari pekerjaan namun sang suami
melarang karena Ayah akan berusaha meskpiun sakit-sakitan. Memiliki seorang
anak yang sedang berkuliah di Pulau Jawa di Institut Teknik Bandung jurusan
Pertambangan, juga membutuhkan dana
untuk bayar kuliah. Sang Ayah merindukan anaknya karena sakit-sakitan yang
semakin hari semakin parah. Tak disangka anaknya pulang kampung dan melihat
kondisi ayah yang berpenyakitan membuat
sang anak member saran untuk ayah untuk
berhenti menjadi penambang kapur yang banyak mudaharatnya, beberapa kerusakan alam seperti longsor , pencemaran udara
dan banjir diindetifikasi berdasarkan ilmu Penambangan yang dia dapatkan dari
mahasiswa jurusan Penambang di ITB. Merasa digurui sang ayah kesal dangan yang
diucapakan anaknya, dan tetap komitmen dengan pilihan awal sebagai buruh
tambang, daripada tidak bisa makan. Apapun saran yang disampaikan anaknya, sang
Ayah merasa direndahkan oleh anaknya.
Sang
anak hanya menyelamatkan ayahnya dari ketidaktahuan dari risiko sebagai
penambang kapur tapi tidak di terima oleh ayahnya. Karena tidak ada uang
pegangan sepersen pun, ibu pun harus menjual kalung untuk biaya kuliah anaknya.Terlahir
dari keluarga miskin membuat sang anak tidak putus asa dan bisa menjadi panutan
bagi keluarga miskin di Bukit Tui untuk tetap menuntut ilmu, masih banyak
masyarakat yang tidak beruntung di sekitaran Bukit Tui, seperti anak
remaja yang harus putus sekolah dan
tidak memiliki cita-cita di masa depan. Oleh sebab itu sang Mahasiswa
memberi motivasi kepada anak remaja
tersebut. Hanya beberapa hari di kampung sang anak kembali ke Kampus untuk
menyusun ujian akhir, berjalannya waktu 2 semester pun terlewati dan gelar
sarjana sudah ditangan dengan semnagat kembali ke kampung untuk memberikan
informasi kalau sudah lulus kuliah.
Yang
sesukat tidak akan menjadi segantang tidak ada orang yang bisa merubah nasib,
begitupun dengan kematian ayah. Tidak
disangka-sangka ayah ditimpa longsor dan meninggal di tempat. Hanya
tangisan rindu buat sosok ayah yang sudah bekerja keras demi biaya kuliah
berharap penuh kepada putra semata wayang untuk
bisa membangkit batang tarandam dalam keluarga kecil mereka. Tangisan
sang anak tidak tertahankan ketika melihat pusara bisu, serta penyeselan yang belum bisa membehagiakan
sosok ayah.
Berikutlah
sedikit cerita tentang naskah Simalakama karya Edward Zebua yang ditampilkan
oleh tokoh Ayah, Ibu, Mahasiswa, Anak dan para warga sekitar (26/4) malam. ini
sarat akan realisme sosial tentang perjuangan hidup masyrakat di Bukit Tui yang
harus rela mati dalam melangsungkan hidupnya. Cerita tentang kehidupan keluarga
yang hanya mengantungkan diri sebagai penambang. Dan ketidakpedulian pemerintah kepada
masyarakat untuk memberikan penyuluhan terhadap bahaya dari kapur di Bukit Tui.
Pertunjukan
Simalakama ini sudah berproses dari bulan 5 yang lalu, namun kurangngya
kemaksimalan aktor bermain jadi pertunjukan ini kurang mendapatkan dramatik
saat pertunjukan, karena dari beberapa aktor ada juga yang masih lupa naskah.
Kemudian beberapa aktor bermain menggunakan warna bahasa yang sama sehingga
tidak memperkuat karakter tokoh yang
dimainkannya, selanjutnya dari segi artistik terlihat dari kostum yang kurang
persiapan dilihat seperti kostum Ayah ukurannya terlalu besar, membuat tokoh
ayah kurang percaya diri. Khusus Setting panggung kurang memperlihatkan suasana
latar tempat yang melatarbelakangi batu kapur, property semua baru, tidak
terlihat sudah lama dipakai, settingan batu yang digunakan bocor dalam
pertunjukan. Terakhir musik sangat
mendukung pertunjukan, membuat penonton merinding saat dendang dimainkan,
karena terbawa suasana dalam pertunjukan. Jadi sebagai seniman kita harus
menghargai proses, karena proses tidak pernah menghianati hasil.
Penonton
yang melihat pertunjukan tersebut ada yang terbawa suasana dan ada yang
menjadikan pertunjukan tersebut sebagai gurauan semata. Kenapa hal ini terjadi
karena syarat menjadi penikmat seni yang baik kita harus tahu dahulu tentang
ilmu seni dan ada pengetahuan kita tentang pertunjukan seni yang akan ditampilkan jika sebaliknya
pertunjukan teater yang sakral bisa menjadi bahan lelucon oleh para penonton.
Berhubung pertunjukan naskah Simalakama kemaren banyak diundang beberepa orang
yang buta seni dan itu sangat menggangu ketenangan penonton lain dalam melihat
pertunjukan, dan juga membalas dialog yang dilontarkan tokoh dalam pertunjukan kentut
dalam ruanagn, banayk ketawa , tidak ada
etika dalam menoton pertunjukan dll.
Disini
saya sangat kagum pada sutradara yang berupaya menghadirkan karya seni dari
realitas masyarakat di desa Padangpanjang yang sampai sekarang masyarakat masih
banyak menggatungkan diri sebagai penambang. Dan penulis berharap supaya
pemerintah peduli juga dengan kesehatan para penambang kapur di Bukit Tui.
Komentar
Posting Komentar